Istilah human security (keamanan kemanusiaan) baru dikenal di dunia modern pada paruh abad ke 20 saat terjadinya Perang Dingin. Diskursus ini terus berkembang dalam beragam isu setelah Perang Dingin berakhir tahun 1990. Sepuluh tahun kemudian setelah berakhirnya perang (2000),
189 negara yang berkumpul dalam KTT Millenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyepakati Deklarasi Millenium (Millenium Development Goals/MGDs) yang berisi 8 tujuan dengan 60 sasaran pembangunan global dan berakhir tahun 2015. Setelah itu, agenda dilanjutkan dengan Sustainability Development Goals (SDGs) yang ditargetkan berakhir tahun 2030.
Ada lima prinsip dasar (five principles) SDGs yang dikenal dengan 5-P, yaitu People (manusia), Planet (Bumi), Prosperity (Kemakmuran), Peace (Perdamaian), dan Partenrship (Kerjasama). SDGs memiliki 17 tujuan (goals) dan 169 sasaran (targets) dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang merupakan penjabaran dari kelima prinsip atau 5-P tadi. Seluruh tujuan dan sasaran pembangunan global, baik MDGs maupun SDGs pada dasarnya merupakan representasi dari kesadaran global tentang human security (keamanan kemanusiaan); kesadaran tentang kepedulian sekaligus keprihatinan dunia terhadap masa depan manusia akibat berbagai konflik dan krisis yang terjadi di dunia pasca perang, seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, wabah penyakit, hingga kerusakan lingkungan.
Islam dan Human Security
Jauh sebelum tatanan global berbicara tentang human security yang kemudian diwujudkan dalam agenda Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainability Development Goals (SDGs), Islam sejak 14 abad yang lalu telah lebih dulu memiliki konsepsi tentang keamanan manusia. Konsepsi keamanan manusia ini menjadi bagian terpadu dari tujuan-tujuan syariah Islam atau yang disebut sebagai Maqashid Syariah. Lima tujuan keamanan asasi dalam maqashid syariah, yaitu untuk keamanan agama (hifdz al dien), keamanan jiwa (hifdz al nafs), keamanan pikiran (hifdz al ‘aql), keamanan keturunan (hifdz al nasab), dan keamanan harta kepemilikan (hifdz al maal).
Maqashid syariah menunjukkan kesempurnaan Islam tidak saja sebagai agama ritual (ubudiyah), tetapi juga sebagai agama komprehensif yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan antar manusia dengan lingkungan (rahmatan lil ‘alamin). Maqashid syariah juga menggambarkan keholistikan Islam sebagai kompleksitas ajaran yang mengatur seluruh kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan, lingkungan, hingga keamanan (syumuliyatul Islam). Sebagai hasilnya, agama ini menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia dan bertahan secara politik hingga 14 abad. Bahkan pengaruhnya hingga kini tidak pernah padam. Contoh kesuksesan penerapan syariah Islam dalam keamanan manusia, misalnya adalah tidak ditemukannya kaum mustahiq (penerima zakat) di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (seabad setelah masa Rasulullah saw). Bahkan di masa Khalafaur Rasyidin (abad 1 H/6 M) kemakmuran merata terjadi bersamaan dengan perluasan Islam karena integritas keadilan dan penegakan hukum.
Relevansi Ramadhan
Bagaimana relevansinya dengan bulan suci Ramadhan? Allah SWT menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan yang istimewa, sehingga disebut sebagai penghulunya bulan (sayyidu al syuhur). Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan, adalah kandungan hikmah dan ajaran dari ibadah di dalamnya yang sarat dengan aspek kemanusiaan. Seperti puasa yang diperintahkan Allah SWT, bukan sebatas menahan nafsu dahaga dan lapar, tetapi lebih dari itu adalah menahan hati, pikiran, dan panca indera dari kecenderungan berbuat maksiat baik maksiat individual, maupun maksiat sosial. Contoh lain, zakat yang bertujuan menumbuhkan empati kepedulian dan keprihatinan sosial. Aspek sosial dari seluruh ibadah ini pada dasarnya merupakan pondasi paling asasi dari konsep keamanan kemanusiaan (human security).
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS Al Baqarah: 183)
Siapa orang bertaqwa? Allah SWT menjelaskan, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali Imron: 133- 134)
Bahkan dalam surat Al-Maun, lebih tegas lagi Allah SWT menjelaskan tentang prinsip keamanan kemanusiaan, bahwa pencederaan terhadap kemanusiaan, sama dengan pengkhianatan terhadap agama.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (memberi) bantuan.”.
Wallahu a’lam bishshowwab
Oleh: Ramdhan Muhaimin
(Dosen Tetap Prodi Hubungan Internasional, UAI)