“Akan datang suatu zaman ketika seseorang tidak akan peduli terhadap apa yang ia ambil, apakah itu halal atau haram.” (HR Bukhari)
Dalam soal makanan, sesungguhnya umat Islam diperintahkan mengonsumsi makanan halal dan menjauhi yang haram. Allah Swt berfirman dalam QS al-Baqarah (2): 172, “’Wahai orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya saja kamu menyembah.”
Makanan yang kita makan akan menjadi darah dan daging dalam tubuh. Karena itu, makanan akan berpengaruh pada tingkah laku seseorang. Makanan halal akan menciptakan perilaku positif. Sedangkan, makanan haram berdampak buruk bagi manusia.
Bahkan, salah satu penyebab doa dan shalat kita tidak diterima adalah makanan haram tersebut. Ibnu Abbas RA berkata, “’Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya terdapat makanan haram.”
Karena itu, para Salafus Shalih sangat berhati-hati terhadap apa yang masuk dalam perut mereka. Mereka juga amat bersikap wara’ dalam menjauhi hal-hal yang syubhat apalagi yang haram. Dalam kitab Shahih al-Bukhari diceritakan, Aisyah RA berkisah Abu Bakar mempunyai pembantu yang selalu menyediakan makanan untuknya. Suatu hari, sang pembantu membawa makanan. Abu Bakar pun memakannya. Setelah tahu bahwa makanan tersebut didapatkan dengan cara yang haram, ia pun memasukkan jari tangannya ke kerongkongan. Kemudian, ia muntahkan kembali makanan yang baru saja masuk dalam perutnya.
Makanan halal sudah jelas dalil dan batasannya. Yaitu, makanan tidak mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh agama, seperti bangkai, daging babi, dan darah. Tidak pula mengandung benda najis, tidak diproses dengan menggunakan alat-alat yang bernajis, dan saat pemrosesan tidak bersentuhan dengan benda-benda yang mengandung najis itu.
Ini berarti ketika diketahui tentang keharaman suatu zat tertentu berdasarkan dalil al-Quran ataupun hadis, saat itu haram pula untuk memanfaatkannya. Selain itu, makanan haram bisa disebabkan oleh cara mendapatkannya yang haram, seperti mencuri, riba, curang dalam jual beli, korupsi, suap, dan lainnya.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu terang penjelasannya dan yang haram itu gamblang penjelasannya. Dan, di antara keduanya, ada perkara yang samar-samar (syubhat) yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka, barang siapa terjatuh dalam perkara yang demikian, pada saat itu dia telah terjatuh pada yang haram.” (HR Bukhari dan Muslim). ***
Tata S. Purnama
Sekretaris Program Studi Pendidikan Agama Islam
Fakultas Psikologi dan Pendidikan
Universitas Al Azhar Indonesia