Masyarakat sedang menakar nyali pimpinan KPK. Publik sedang dipertontonkan drama aksi KPK yang mandul, tak bergigi, dan tak punya nyali dalam menggeledah ruangan di kantor DPP dan PDIP. KPK juga tak kuasa untuk menjemput dan memeriksa sekjen PDIP di PTIK, karena dilindungi pihak lain.
Pimpinan KPK saat ini seperti tak kuasa dan tak bernyali ketika sudah berhadap-hadapan dengan petinggi partai. KPK tak segarang periode lalu yang mampu menyikat dan memenjarakan mereka yang punya kuasa.
Kita tentu bangga dengan KPK di masa lalu yang sangar dan garang melibatkan para koruptor dari partai penguasa kala itu. Kader Partai Demokrat banyak dijebloskan ke penjara, karena pimpinan KPK bernyali tinggi.
KPK diperiode yang lampau juga bisa menjebloskan jenderal Polisi ke jeruji besi. Begitu juga petinggi partai, dari ketua, sekjen, hingga orang penting di partai ditangkap dan diadili KPK.
Begitu juga pimpinan lembaga tinggi negara, seperti ketua dan wakil ketua DPR, Ketua dan anggota Hakim MK, komisioner KPU, ketua DPD pernah merasakan keganasan KPK. Karena pimpinan KPKnya punya nyali. Punya keberanian untuk memenjarakan mereka yang korup.
Namun sepertinya keganasan KPK di masa yang lalu tak akan terulang kembali. Karena KPK hari ini ada dalam bayang-banyak presiden, partai politik, dan DPR. Sehingga Pimpinan KPK hari ini, akan mudah diintervensi kekuatan luar.
Jika menggeledah partai penguasa saja sudah tidak bisa, lalu apa yang akan dikerjakan KPK? Jika ingin menjemput dan memeriksa sekjen partai pemenang pemilu saja tak mampu, lalu apa yang akan dilakukan KPK?
KPK hari ini memang menyedihkan. Dulu ganas dan trengginas, kini memelas. Dulu bernyali tinggi, kini terkunci. Dulu sangar, kini nyaris tak terdengar. Dulu disayang publik, kini dibully. Dulu menjadi harapan untuk membersihkan Indonesia yang korup, kini tersandera oleh kepentingan mereka yang korup.
Design pelemahan KPK sungguh nyata. Dan nyata adanya. Maka dicarilah orang-orang yang bermasalah atau yang bisa dipegang untuk menjadi pimpinan KPK.
Dari mulai penunjukkan Pansel KPK dan calon pimpinan KPK semuanya diragukan oleh publik. Ditambah lagi dengan revisi UU KPK, maka semakin sempurna pelemahan dan pembunuhan KPK itu.
Negeri ini memang sangat anomali. Selalu mengedepankan paradoks. Anomali dan paradoks dalam pemberantasan korupsi. Korupsi makin merajarela, koruptornya dimana-mana. Tapi yang dilemahkan dan dibunuh KPK.
Sejatinya, jika korupsi di republik ini sudah pada tingkat “dewa”, maka harusnya KPK diperkuat. KPK dibuat lebih hebat. KPK dibuat lebih bernyali. Agar bisa unjuk gigi.
Saya teringat dengan tulisan Jeffry Winters, dia gambarkan bahwa “Indonesia dikuasai para maling. Ada demokrasi tapi seperti tanpa hukum. Demokrasinya tumbuh. Tapi hukumnya tunduk di bawah kendali uang dan jabatan”.
Jadi sesungguhnya, Indonesia bukan hanya dikuasai oleh para maling. Tapi Indonesia sudah dikuasai oleh para perampok. Koruptor di republik ini, bukan lagi kelas maling. Yang mencuri uang negara recehan. Tapi koruptor di negeri ini sudah dalam kategori perampok. Karena membobol uang negara bukan hanya milyaran tapi juga triliunan.
Lihatlah kasus korupsi Century, E-ktp, Garuda, Jiwasraya, dan masih banyak lagi yang belum terbuka. Hanya tinggal tunggu soal waktunya, korupsi-korupsi di BUMN dan perampokan APBN akan terungkap.
Tak perlu ditutup-tutupi. Tak perlu dibungkus dengan rapi korupsi itu. Tak perlu tampil paling suci dan paling bersih. Tak perlu pencitraan. Dunia ini sudah terbuka. Jadi ketika mereka merampok dan menggasak uang negara, sesungguhnya rakyat tahu. Publik paham. Bahwa negaranya sedang dihancurkan dengan cara korupsi besar-besaran.
Jika pimpinan KPK tak bernyali, maka kemana lagi rakyat akan berharap. Rakyat tak bisa berharap pada presiden dan DPR. Karena keduanya dianggap telah merevisi UU KPK, sehingga KPK menjadi mandul, lemah, tak bertaji, dan tak bernyali.
Jangan sampai dugaan publik menjadi benar, bahwa KPK dibentuk di zaman Megawati, lalu mati di bawah kepemimpinan Jokowi. Agar dugaan publik itu bisa dibantah, maka pimpinan KPK harus berbenah.
Jangan karena tekanan kekuasaan dan tak enak kepada yang berjasa telah menjadikan pimpinan KPK. Lalu KPK yang dikorbankan. Lalu KPK yang dibredel. Dan KPK yang menjadi korban.
Memiliki nyali itu penting. Karena dengan nyali, keberanian menjadi teruji dan terealisasi. Dengan nyali yang tinggi itu pula lah pemberantasan korupsi di republik ini didengungkan. Nyali menjadi kata kunci dalam pemberantasan korupsi di negeri yang dikuasai para rampok ini.
Pimpinan KPK yang bernyali tinggi itu lah yang sedang dibutuhkan oleh bangsa ini. Rakyat tak butuh pimpinan KPK yang tak bergigi. Rakyat hanya butuh pimpinan KPK yang bernyali.
Dengan nyali yang tinggi, maka para perampok uang negara dan para pembobol BUMN akan bisa dilibas. Tapi jika KPKnya murung, tak bergigi, dan tak bernyali, maka akan semakin rusaklah negeri tercinta ini.
Republik ini sedang tak punya uang. Bangsa ini sedang banyak utang. Dan negara ini sedang dirampok. Perampokan uang negara sangat kasat mata dan telanjang, jika KPKnya tak bernyali, untuk apa ada KPK?
Pimpinan KPK yang bernyali tinggilah, yang sedang kita tunggu dan kita harapkan. Kita tunggu nyali itu keluar dari pimpinan KPK yang baru. Rakyat sedang menunggu. Publik sedang menanti kiprah mereka.
Hebatkah mereka, melebihi kehebatan pimpinan KPK lama. Atau hanya akan menjadi ayam sayur, yang tak berani mengusut mereka yang punya kuasa? Selama pimpinan KPK tak punya nyali, selama itu pula keraguan publik menjadi nyata.
Saya dan kita semua tentu sedang menunggu, keberanian KPK untuk mengusut dan memenjarakan, para perampok uang negara kelas kakap. Kelas gajah. Dan kelas dinosaurus. Kalau hanya maling kelas teri yang ditangkap, rakyat tak akan bangga.
Kami percaya, pimpinan KPK memiliki hati nurani, untuk membersihkan bangsa ini dari korupsi. Namun jika pimpinan KPK tak bernyali, maka pupuslah harapan publik untuk melihat bangsanya bebas dari korupsi. (Ujang Komarudin)